Stop Anak Nikah di Usia Dini

Langit pagi ini mendung, matahari masih belum muncul sejak tadi mungkin masih bersembunyi di belakang kaki bukit kota ini. Di ruang tunggu lantai dua kantor yang letaknya di sudut sebelah timur Lapangan Andi Makkasau, seorang anak gelisah, ia duduk bersama neneknya sejak tadi, sesekali ia mengutak atik handphonenya, berdiri sebentar menatap sebuah gereja samping kantor yang baru saja merayakan natal, lalu duduk lagi, mengutak-atik handphone. Duduk, berdiri lalu duduk lagi.

Setengah jam duduk di situ, petugas operator kantor menyapanya, menanyakan keperluannya di kantor ini dan mengapa belum masuk mengambil nomor antrian penerbitan dokumen administrasi kependudukan atau masuk ke ruangan pengaduan. Ia bicara sebentar ke operator dan setelah mengetahui maksud anak yang didampingi neneknya itu, petugas mengantar ke ruangan pengaduan.

Anak itu namanya A, ia kelahiran 2003 dan belum lama ini melakukan persalinan, anak A saat ini tengah dirawat di rumah sakit dan belum punya jaminan asuransi kesehatan, sehingga ia butuh semacam dokumen untuk anaknya dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Parepare untuk bisa mendapatkan jaminan asuransi kesehatan dari pemerintah.

A yang baru saja melakukan persalinan masih berstatus anak, tidak punya dokumen yang mendukung penerbitan akta kelahiran anaknya, apalagi dia sendiri tidak tahu siapa suaminya, di Kartu Keluarga statusnya belum kawin. Setelah konsultasi dan melengkapi persyaratan, dokumen kependudukan anaknya akhirnya terbit.

Kasus A ini hanya satu dari sedikit kisah tentang kasus anak di Kota Parepare, dari catatan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, paling tidak ada 21 anak di bawah 17 tahun yang sudah menikah atau pernah menikah, dua di antaranya menjadi kepala keluarga. Dari jumlah sebesar itu, empat anak berasal dari Kecamatan Bacukiki, dua anak dari Kecamatan Ujung, tujuh anak dari Kecamatan Soreang dan delapan anak dari Kecamatan Bacukiki Barat.

Dua dari dua puluh satu anak yang menjadi kepala keluarga itu masing-masing tinggal di Kelurahan Bukit Indah dan Kelurahan Wattang Soreang, istri kedua anak ini sudah berusia 19 tahun, mereka masing-masing memiliki satu anak.
‘’Dari dua anak yang sudah menjadi kepala keluarga, ada satu yang berstatus cerai hidup, satunya lagi berstatus kawin tercatat,’’ kata Achmad Kitzal, SE, Administrator Database Kependudukan Kota Parepare.

Herlinda, SKM, Pekerja Sosial Kota Parepare yang banyak menangani kasus anak di Kota Parepare mengungkapkan, sepanjang Tahun 2019 paling tidak dirinya menangani dua kasus perkawinan anak. Perkawinan anak yang ditanganinya baru bisa dilakukan setelah memperoleh dispensasi dari pengadilan.

‘’Dari catatan kami sepanjang Tahun 2019, setidaknya ada dua anak yang yang menikah di usia dini di Kota Parepare. Kami tidak henti-hentinya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tingginya resiko menikah di usia dini pada anak, mereka baru bisa menikah setelah memperoleh dispensasi dari pengadilan,’’ kata Herlinda.

Kasus perkawinan anak di Sulawesi Selatan termasuk yang tertinggi di Indonesia. Di Tahun 2018, Provinsi Sulawesi Selatan berada di urutan kesembilan dengan tingkat persentase perkawinan anak mencapai 14,1 persen atau masih berada di atas rata-rata nasional yang sudah mencapai 11,2 persen. Bahkan di Tahun 2019, Dalam waktu delapan bulan saja, jumlah perkawinan anak sudah mencapai 720. Itu yang tercatat, yang tidak tercatat tentu jumlahnya jauh lebih tinggi karena keluarga atau masyarakat enggan melaporkan jika ada anaknya di bawah umur yang sudah menikah. Lima daerah penyumbang besar perkawinan anak di Sulsel diantaranya; Kabupaten Soppeng, Luwu, Wajo, Bone dan Kabupaten Takalar.

Mengutip Nur Anti, Kepala Bidang Pemenuhan dan Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dari Jaring.id, ada beberapa penyebab perkawinan anak cukup tinggi di Sulawesi Selatan, beberapa diantaranya karena minimnya akses pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kurang penegakan hukum dan buruknya layanan akses penerbitan akta kelahiran.

Pendapat Nur Anti sejalan dengan temuan Herlinda yang selama ini melakukan pendampingan anak di Kota Parepare. Rata-rata anak yang menikah di usia dini yang ditanganinya sudah putus sekolah, tidak paham tentang kesehatan reproduksi, belum memiliki akta kelahiran dan satu lagi, mereka rata-rata datang dari keluarga yang sudah tidak utuh.

‘’Tapi Alhamdulillah untuk masalah penerbitan akta kelahiran, kami kerap bekerja sama dengan Disdukcapil untuk memastikan bahwa anak memiliki akta kelahiran dan mengecek kebenaran biodata anak yang mencoba mencuri umur supaya bisa menikah, berkat kerja sama itu kami bisa mencegah perkawinan anak,’’ tambah Linda.

Adi Hidayah Saputra, S.STP, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang juga Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pemanfaatan Data mengungkapkan, kerap menemui orang tua yang coba mengubah akta kelahiran anaknya, khususnya perempuan, karena ingin anaknya segera menikah.

‘’Kami sarankan untuk menunda pernikahan sampai usia anaknya mencukupi, tetapi jika tetap ngotot, biasanya kami sarankan mereka ke pengadilan,’’ ujar Adi.

Hasil penelitian Plan Indonesia bekerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (Djamilah, 2014) terungkap bahwa ada beberapa dampak dari perkawinan anak, antara lain; terkait dengan kesehatan reproduksi, ancaman kesehatan mental dan kekerasan dalam rumah tangga.

Hampir di semua wilayah dalam penelitian Plan Indonesia, anak perempuan yang kawin pada usia muda berpotensi mengalami kehamilan berisiko tinggi. Mengalami kesehatan mental karena anak perempuan seringkali mengalami stres ketika meninggalkan keluarganya dan bertanggung jawab atas keluarganya sendiri.

Temuan lainnya, 44% anak perempuan yang menikah di usia dini, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi yang tinggi. Perkawinan anak juga berdampak pada kesehatan reproduksi anak. Anak perempuan berusia 10-14 memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, di masa kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun.

Meski penelitian dilakukan Tahun 2014, tapi temuan ini tentu masih cukup relevan dengan kondisi saat ini, dan temuan ini juga memposisikan anak perempuan dalam kelompok rentan terutama terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualitasnya. Jadi stop nikah dini untuk anak mulai sekarang!

ada yang bisa kami bantu?